Pengalaman Mendaki Puncak Manglayang yang Memuaskan
Halo, apa kabar teman-teman? Bulan-bulan ini tak terasa ya waktu berlalu begitu cepat. Terakhir kali pergi muncak ke Cikuray awal tahun 2021. Kali ini, saya ada cerita muncak lagi ke Gunung Manglayang yang ada di Bandung.
Perjalanan
kali ini didasari oleh keinginan muncak teman-teman saya yang sedang mengikuti
pembinaan. Apalagi, pada saat itu kami berkumpul lagi setelah hari raya Idul
Fitri berakhir. Akhirnya, Manglayang jadi pilihan akhir setelah berunding ingin
pergi kemana. Sebab, Manglayang merupakan tempat terdekat yang bisa dijangkau,
ditambah keinginan untuk pergi muncak lagi.
Setelah
berbagai macam hal dipersiapkan, kami pergi selepas Shalat Jumat. Karena kami
berangkat dari Cibiru, kami memilih jalur pendakian via Batu Kuda. Ada juga
jalur lainnya, Barubereum kalau kita ambil jalur dari Jatinagor dan Palintang
kalau ambil jalur dari Ujung berung.
Batu Kuda |
Setibanya di parkiran Batu Kuda, kita melaksanakan Shalat Ashar terlebih dahulu. Vibes Batu kuda itu mirip pas waktu dulu saya ke Galunggung. Banyak pinusnya. Rasanya adem banget dan tenang. Karena saya datang pas weekdays jadi waktu itu gak banyak pengunjung. Masih sepi. Tiket masuk kawasan Batu Kuda dikenai biaya sekitar Rp. 10.000.
Sesuai tujuan
utama, kita pergi ke puncak Manglayang. Maka, perjalanan pun dimulai. Langkah-langkah
kami disertai dengan tawa canda di awal-awal perjalanan. Setelah perjalanan semakin jauh, keringat mulai membasahi badan. Obrolan pun kini disertai dengan
nafas kami yang mulai ngos-ngosan. Apalagi, beberapa orang memang baru pertama
kali ikut muncak seperti ini.
Tinggi Gunung
Manglayang itu 1818 MDPL. Cukup rendah memang jika kita hanya membandingkan
angka saja. Tetapi, suasana dan track perjalanan menuju puncak tak bisa
dibandingkan. Sekalipun, terdengar akan mudah menaklukannya, tetapi jalur yang
saya rasakan, vibes Manglayang ini mirip Cikuray pas waktu saya muncak
disana. Hutan, penuh pohon tinggi dan besar. Suara-suara hewan, banyak kabut,
dingin, jalan berlumpur dan sedikit licin. Beberapa orang bahkan terpeleset
ketika sedang mendaki. Ditambah banyak batu-batu dan terbilang cukup ekstrim
untuk kami yang terhitung pemula. Untungnya, Manglayang tak terlalu tinggi. Dan,
sejauh mata memandang, kami tak melihat babi hutan ataupun mendengar cerita
bahwa di Manglayang ada babi hutan. Juga, di Manglayang tidak di pasang pos
penanda.
Meskipun
cukup sulit bagi kami, tapi terbilang cepat untuk didaki. Nyatanya, sebelum
Maghrib kita sudah sampai di puncaknya. Kami pun langsung mendirikan tenda dan
beristirahat. Puncak Manglayang hanya lapangan cukup luas yang bisa dijadikan
tempat untuk mendirikan tenda. Tak ada view yang bisa diabadikan. Hanya pohon-pohon
yang menjulang tinggi mengelilingi tenda-tenda pendaki.
Setelah
beristirahat dalam tenda, kami pun mulai memasak dan mengisi energi sambil
bercerita kesan-kesan selama perjalanan tadi. Tawa kami pun kembali meski
dengan rasa lelah sedikit.
Salah seorang
teman kami, sebelumnya menemukan satu makam di puncak. Karena gelap kami tak
mengetahui itu dan tak menyadarinya. Tetapi, memang ternyata makam itu ada. Hanya
saja tak tahu makam siapa.
Oleh karena
itu, dalam tengah pembicaraan yang menghangatkan malam. Team leader menyarankan
untuk pergi ke tempat lain yang mungkin ada pemandangan yang lebih memuaskan. Hanya,
saja kita harus turun ulang. Agak sedikit berbahaya memang, apalagi perginya
malam-malam. Padahal kita tahu jalur pendakiannya cukup berbahaya. Namun, demi view
yang bisa sedikit dinikmati kami pun setuju dengan rencana gila itu.
Setelah
tengah malam terlewat, kami pun mulai membereskan tenda dan peralatan. Jam dua
pagi, kami lanjutkan perjalanan berharap dapat menikmati sunrise di
tempat lain. Dengan hati-hati kami langkahkan kaki kecil-kecil beradu dengan
gelap malam. Hanya cahaya senter yang menemani perjalanan itu.
Di tengah
perjalanan, kami mulai menyadari ada yang tak beres dengan jalur yang kami
susuri. Dan ternyata, jalan pulang yang kami lalui adalah jalur berbeda yang
berakhir menuju Sumedang, yakni jalur Barubereum. Sesuai info tak ada jalur
pintas yang menyambungkan dua jalur ini, sehingga kami harus kembali ke puncak jika masih berpegang pada rencana. Namun, malam dingin itu menambah rasa lelah kami yang sudah setengah jalan menjauhi puncak. Ditambah lagi, salah satu teman kami yang masuk angin karena tidak
terbiasa dengan suhu gunung yang berbeda, membuat kami merasaa berat untuk pergi kembali. Akhirnya, kami memilih untuk memasang
tenda di tempat itu. Puncak bayangan namanya. Layaknya kisah salah alamat.
Sebenarnya,
rencana awalnya pergi ke Papanggungan. Namun,apa daya akhirnya kami
menikmatinya di Bayangan. So far, jika dilihat pun secara pemandangan
tak begitu mengecewakan jika dibanding
dengan puncak tadi. Malahan lebih dari cukup.
Kami pun
istirahat, karena jujur tubuh kami masih lelah. Hingga, cahaya fajar mulai
terlihat di ufuk timur. Kami bersiap untuk mengabadikan berbagai macam gaya
kami disana. Ketika cahaya semakin terang, semakin terlihat pula begitu luar
biasanya ciptaan Tuhan. Setelah puas dengan urusan fotografi, kami bersiap
untuk makan dan pulang.
Sesuai aturannya,
jika ingin pulang harus pergi ke puncak lagi. Lalu kami lanjutkan perjalanan
via jalur Batu Kuda dan turun sampai basecamp lagi dengan perasaan puas,
terlebih saya sendiri.
Puncak Manglayang |
Satu hal sih yang saya amati, seberapa lama pun kita, persiapan matang tetap harus diutamakan. Agar hal-hal yang tak terduga dapat diantisipasi. Selalu berhati-hati dalam melakukan perjalanan apapun, ya.
Enjoy your
holiday, create your happiness!
Pagi di Bayangan |
Mantap
ReplyDeleteKereeeeenn bung wkwk terus berkreasi
ReplyDelete